0
Praktek Hiwalah dan Rahn dalam Kehidupan Manusia
Praktek Hiwalah dan Rahn dalam Kehidupan ManusiaApabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah, atau meninggal dunia muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama.

Kecuali mazhab maliki, mereka mengatakan : “ kecuali jika muhil telah menipu muhal di mana ia mengihalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir).

Di dalam kitabnya Al Muwaththa’, Imam Malik berkata : “persoalannya menurut kami, tentang orang yang mengihalahkan kepada seseorang dengan hutangnya yang ada pada orang lain, jika ternyata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan, atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak memiliki apa-apa terhadap orang yang diihalahkan dan bahwa dia tidak kembali kepada pihak pertama (muhil).” Lebih lanjut ia berkata : “di sisi kami, persoalan ini tidak ada ikhtilaf.”

Abu Hanifah, Syarih dan Ustman mengatakan: “ Orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi (kepada si muhil) jika muhal’alaih meninggal dunia atau bangkrut atau membantah hiwalah.[1]

Perlu dikemukakan bahwa akad hiwalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hiwalah akan berakhir apabila:[2]

1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.

2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.

4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.

5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.

Resiko Kerusakan Barang yang Digadaikan(Rahn)


Siapakah yang menanggung resiko bila terjadi kerusakan barang yang digadaikan? Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan, bahwa menurut Syafi’iyah bila barang gadai atau al-marhun hilang dibawah penguasaan al-murtahin, maka al-murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian al-murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya, al-murtahin bermain-main api lalu barang gadai itu terbakar, atau gudangnya tidak dikunci lalu barang gadai itu di curi orang. Konkretnya al-murtahin diwajibkan memelihara al-marhun secara layak dan wajar. Sebab bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawab al-murtahin.

Dengan mengutip pendapat Hanafi dan Ahmad Azhar Basyir, Hendi Suhendi menyatakan bahwa al-murtahin yang memegang al-marhun menanggung resiko kerusakan atau kehilangan al-marhun, bila al-marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak.

Perbedaan dua pendapat tersebut ialah jika menurut Hanafi al-murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun yang dipegangnya, baik al-marhun itu hilang karena disiasiakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi’iysh al-murtahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan al-marhun bila al-marhun itu rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.

Masalah Riba dan ar-rahn

Perjanjian pada gadai atau ar-rahn pada dasarnya adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Persoalannya sekarang adalah apakah dalam gadai tersebut terdapat unsur riba? Menurut penelitian Hendi Suhendi, setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:

1. Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa ar-rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada al-murtahin atau penerima gadai ketika membayar utangnya.

2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.

3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga al-marhun kepada ar-rhin. Padahal utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari al-marhun.[3]

[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13( Bandung: PT Alma’arif, 1987), hlm, 41
[2] Abdul Rahman Ghazaly; dkk, Fiqh Muamalat( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 258
[3] Ibid., hlm, 270

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top