0
Fiqh Jinayah, Pengertian Ta'zir, Jenis Ta'zir dan Pembagian Ta'zir
Fiqh Jinayah: Pengertian Ta'zir, Jenis Ta'zir dan Pembagian Ta'zir - Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ﻋَﺰَﺮَ۔ﻴَﻌْﺰِﺮُ yang secara etimologis berarti ﺍﻠّﺮَﺪُّﻮَﺍﻠْﻤَﻨْﻊُ, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ menolong atau menguatkan.[1] Hal ini seperti dalam firman Allah berikut :

ﻠِّﺘُﺆْﻤِﻨُﻮْﺍﺑِﺎﷲِﻮَﺮَﺴُﻮْﻠِﻪِےﻮَﺘُﻌَﺯِّﺮُﻮﻩُﻮَﺘُﻮَﻘِّﺮُﻮﻩُﻮَﺘُﺴَﺑِّﺤُﻮﻩُﺑُﻜﺮَﺓًﻮَٲَﺻِﻴﻼً۞ 
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Fath:9)

Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak di tentukan Al-Qur’an dan Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat.[2]

Pembagian jenis ta’zir

Berdasarkan hak yang dilanggar oleh pelaku, Imam Muhammad Abu Zahrah membagi hukuman ta’zir menjadi dua, yaitu sanksi ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah dan sanksi ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran hak manusia. Ia pun berpendapat:

Sanksi-sanksi ta’zir sama dengan sanksi-sanksi yang telah ditentukan (qishash dan hudud). Sebagian ada yang merupakan hak Allah dan sebagian merupakan hak manusia. inilah pembagiannya secara umum.[3]

Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak Allah dan pelakunya harus dihukum ta’zir, di antaranya perbuatan bid’ah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, perdagangan manusia, berbisnis narkoba, manipulasi, riba, dan kesaksian palsu.

Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia, seperti dalam kasus pembunuhan semi-sengaja. Di samping adanya kewajiban pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga korban, masih terdapat satu sanksi lagi berupa ta’zir untuk memelihara hak manusia. demikian pula pemberlakuan hukuman ta’zir dalam masalah penganiayaan yang tidak mungkin dihukum qishash. Contoh lainnya yaitu percobaan pembunuhan atau kasus penyekapan.[4]

Wahbah Al-Zuhaili juga mengemukakan pernyataan sebagai berikut, ta’zir dapat terjadi pada setiap jarimah yang tidak masuk dalam cakupan had dan kafarah, baik menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah seperti makan pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa uzur, meninggalkan shalat (menurut jumhur ulama), menjalankan praktik riba, melemparkan barang najis atau berbahaya lain ke jalan-jalan umum. Ta’zir juga dapat berlaku pada pelanggaran terhadap hak manusia, seperti mencium atau melakukan perbuatan tidak senonoh, mencuri tetapi tidak mencapai nishab syar’I (satu dinar atau sepuluh dirham) menurut Abu Hanifah, mencuri bukan dari tempat penyimpanannya, berkhianat terhadap amanah, suap, qadzf dan mencaci atau menyakiti.[5]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembagian hukuman ta’zir terdiri atas dua macam, yaitu ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak manusia.[6]

Pendapat ulama’ terkait hukuman mati sebagai ta’zir

Hukuman ta’zir juga terdapat dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu
  1. Hukuman mati
  2. Hukuman penjara
  3. Hukuman ganti rugi 

Menurut Wahbah Al-Zuhaili mengatakan :

Pada umumnya sanksi-sanksi yang terdapat di dalam undang-undang berasal dari sisi ta’zir. Undang-undang itu sebagai satu-satunya aturan yang dirumuskan untuk menanggulangi berbagai kejahatan dan menghalangi pelaku kejahatan. Undang-undang juga berfungsi menjaga kemaslahatan, menegakkan keadilan dan ketentraman, serta menjaga keamanan dan kenyamanan.[7]

Mengenai eksistensi hukuman mati sebagai qishash dan hudud memang disepakati oleh ulama. Hukuman mati sebagai qishash secara tegas disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 178. Demikian juga hukuman mati sebagai hudud bagi pelaku perampokan, zina mukhson, murtad, dan pemberontakan. Akan tetapi, hukuman mati sebagai ta’zir tidak sebulat kesepakatan ulama dalam hal hukuman mati sebagai qishash dan hudud.[8]

Hukuman mati sebagai ta’zir memang diperbolehkan. Akan tetapi, hal itu tergantung dari jarimah apa yang dilakukan. Berikut pendapat ulama :[9]

1. Menurut Ulama Kalangan Hanafiyah

Menurut mereka hukuaman mati sebagai ta’zir dapat diterapkan sebagai pertimbangan politik Negara dan berlaku jarimah tertentu seperti sodomi, atau pelecehan terhadap Nabu Muhammad SAW,merampok, berulang kali mencuri, berselingkuh.

2. Menurut Sebagian Ulama kalangan Syafi’iyah

Hukuman mati sebagai ta’zir dapat diberlakukan terhadap orang yang mengajak orang lain untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan agama yang bertentangan dengan Alquran dan hadis.

3. Menurut Ulama Kalangan Malikiyah

Menurut mereka hukuman mati sebagai ta’zir diperbolehkan, sebagaimana hukuman mati bagi mata-mata muslim tetapi memihak musuh.

4. Menurut Ulama Kalangan Hanabilah

Ibnu Aqil berpendapat bahwa mata-mata muslim yang membocorkan rahasia kepada musuh boleh dihukum mati sebagai ta’zir. Pendapat ini sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa para pelaku bid’ah atau orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukum mati.

Pada dasarnya hampir semua ulama membolehkan sanksi mati sebagai hukuman ta’zir apabila ada kemanfaatan dan keadaan pun menuntut untuk itu. Umpamanya, ulul amri berpendapat, tiadanya harapan si mujrim dapat menghentikan perbuatannya, tipisnya si pelaku dapat menjadi baik kembali (dengan parameter pengulangan yang sering dilakukan), atau situasi menghendaki dia harus dimusnahkan dari muka bumi. Maka para ulama membolehkan hukuman mati bagi residivis, penyebar bid’ah, dan jenis lain yang dianggap sangat berbahaya.[10]

Demikian makalah kami tentang Fiqh Jinayah: Pengertian Ta'zir, Jenis Ta'zir dan Pembagian Ta'zir, semoga dapat bermanfaat bagi kita.

[1] M.. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013, hlm. 136
[2] Rahmat Hakim, Ibid., hlm. 141
[3]M.. Nurul Irfan dan Masyrofah, Ibid., hlm. 199
[4]Ibid.
[5] Ibid., hlm 199-200
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 202
[8] Ibid., hlm 203
[9] Ibid., hlm. 203-205
[10] Rahmat Hakim, Op.Cit., hlm. 156

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top