0
Pengertian Jarimah Al-Riddah, Unsur Jarimah Al-Riddah, dan Sanksinya
Pengertian Jarimah Al-Riddah, Unsur Jarimah Al-Riddah, dan Sanksinya - Al-Riddah ialah memutus keislaman dengan dibarengi niat (ucapan) dan perbuatan kufur, baik yang dimaksudkan untuk menghina, menentang, maupun menyakini (kekufuran tersebut).

Barangsiapa yang tidak mengakui Allah sebagai pencipta, tidak mengakui para utusan-Nya, mendustakan salah seorang utusan-Nya, menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah dinyatakan haram, seperti zina.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pengertian Jarimah Al-Riddah?
2. Apa unsur-unsur Jarimah Al-Riddah?
3. Apa sanksi terhadap pelaku Jarimah Al-Riddah?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian Jarimah Al-Riddah, unsur-unsur Jarimah Al-Riddah dan sanksi terhadap pelaku Jarimah Al-Riddah.

Pengertian Riddah

Riddah secara harfiah artinya kembali. Riddah dalam pembahasannya ini adalah seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan[1].

Ar-Riddah adalah bentuk mashdar dari kata رد – ير د yang secara etimologi berarti صر فه – ار جعه memalingkannya, mengembalikannya.

Kata al-Riddah juga mempunyai arti leksikal الر جوع عن الشي ء الى غير ه kembali dari suatu kondisi kepada kondisi lain. [2]Disamping itu kata juga mempunyai arti الرجو ع الى الكفر بعد الا سلا م kembali kepada kekafiran sesudah beragama islam. Sementara itu, Al-Raghib Al-Isfahani mengartikan kata al-Riddah dengan cara membandingkannya dengan kata al-irtidad.

الر جو ع في الطر يق الذ ي جا ء منه لكن الردة تختص با لكفر والإر تدا د يستعمل فيه وفي غيره

Kembali ke sebuah jalan yang pernah dilaluinya ketika ia datang, tetapi kata al-Riddah secara spesifik dipakai untuk kembali (ke agama lama) akibat kekufuran. Sementara itu, kata al-Irtidad dapat dimaksudkan dalam arti yang lain.

Adapun secara terminologis, ulama fiqh mendefinisikan al-Riddah sebagai berikut:

 

Imam Al-Nawawi dalam kitab Minhaj Al-Talibin

Al-Riddah ialah memutus keislaman dengan dibarengi niat (ucapan) dan perbuatan kufur, baik dimaksudkan untuk menghina, menantang, maupun menyakini (kekufuran tersebut).

 

Zainuddin Al-Malibari, salah seorang murid Ibnu Hajar Al-Haitami, dalam kitab Fath Al-Muin.

Al-Riddah secara syariat ialah sikap memutuskannya seorang mukallaf dari agama Islam dengan kekufuran , baik berupa niat, ucapan,maupun perbuatan yang disertai keyakinan, penentangan, atau penghinaan, misalnya, sikap tidak mengakui Allah sebagai pencipta,menginginkan seorang nabi, menolak sesuatu yang telah disepakati, sujud kepada makhluk dan ragu-ragu dalam kekufuran.

Mansur bin Yunus Idris Al-Bahuti, ahli fiqh Mazhab Hanbal

Secara etimologis, murtad ialah orang yang kembali. Sementara itu secara terminologis, murtad ialah orang yang kafir setelah Islam, walaupun ia mumayyiz.

Wahbah Al-Zuhalli

Al-Riddah ialah kembali dari agama Islam menuju kekufuran dengan niat atau perbuatan sehingga si pelaku dianggap kafir.

Abdul Qadir Audah

Al-Riddah ialah kembali dari agama Islam atau memutuskan diri dari Islam.

Al-Mawardi memaparkan pendapat di atas untuk membedakan antara jihad melawan kaum musyrik dan non musyrik. Adapun golongan yang termasuk kaum nonmusyrik adalah kaum murtad, pemberontak, dan perampok.

Unsur-Unsur Jarimah Murtad

Menurut Abdul Qadir Audah, jarimah murtad meliputi dua unsur, yaitu (1) keluar dari agama Islam lalu menuju kekafiran dan (2) melawan hukum.

1. Keluar dari agama Islam lalu menuju kekafiran

Artinya, tidak lagi menyakini bahwa Islam adalah agama yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut.

a. Dengan Tindakan

Maksudnya yaitu melakukan perbuatan yang diharamkan secara sengaja untuk menghina, meremehkan, atau menentang Islam.

Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa contoh paling konkret pada masa kini adalah banyaknya pihak yang tidak mau menerima hukum Islam.[3]

b. Dengan Ucapan

Seseorang dapat menjadi kafir apabila ia mengatakan bahwa Allah bukanlah tuhan, Allah tidak Esa. Selain itu, apabila memproklamasikan diri telah keluar dari agama Islam atau menyatakan diri sebagai nabi, maka secara otomatis ia telah murtad.

c. Dengan Keyakinan

Murtad juga dapat terjadi melalui keyakinan, seperti meyakini bahwa alam ini telah ada sebelum adanya Allah.

Siapapun yang didalam hatinya terdapat keraguan tentang Islam, selama tidak diucapkan atau dilakukan, maka ia tidak dianggap murtad. Meskipun demikian, urusannya dengan Allah belum selesai dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

2. Melawan Hukum

Yaitu seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya terlintas di dalam hati dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad.

Perihal melawan hukum ini berkaitan erat dengan niat dan kesengajaan. Ulama kalangan mazhab Syafi’i mensyaratkan bahwa untuk terjadi jarimah al-Riddah pelaku harus berniat murtad. Oleh karena itu, tidak cukup kalau hanya sengaja melakukan sesuatu, seperti sujud kepada matahari tanpa niat.

Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili mengemukakan persyaratan sah dari Jarimah murtad, yaitu (1) si pelaku harus berakal sehat dan (2) si pelaku harus dalam kondisi sadar dan tidak berada dalam tekanan.

Sanksi Terhadap Pelaku Jarimah Al-Riddah

Jarimah Al-Riddah termasuk Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).[4]

Sanksi terhadap pelaku jarimah ar-riddah terdiri atas tiga kategori, yaitu (1) sanksi asli (2) sanksi pengganti, dan (3) sanksi pelengkap.

1. Sanksi Asli Jarimah Al-Riddah

Sanksi asli terhadap pelaku jarimah al-Riddah adalah dibunuh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh hadis berikut.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. “(HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasa’i).

Menurut sebagian ulama, hadis tersebut bermuatan politis dan sebaiknya diteliti kembali. Penulis pun menelitinya dan menemukan bahwa Al-Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan sahih, walaupun belum di takhrij secara mendetail dari segi kualitas sanad dan kredibilitas para periwayat.

 

Anjuran untuk bertaubat kepada pelaku Jarimah Al-Riddah

Ulama sepakat bahwa Pelaku Jarimah al-Riddah adalah dibunuh. Namun demikian, pelaksanaannya tidak boleh serta-merta dibunuh. Sebelumnya sipelaku dimbau untuk bertaubat dan kembali ke agama Islam. Jika ia mau bertaubat, darahnya terpelihara, tetapi jika tidak mau bertaubat, sanksinya adalah hukuman mati.[5]

Sementara itu, bagi yang bersedia bertaubat maka diterimalah taubatnya.[6] Menurut ulama kalangan Syafi’iyah anjuran ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini mengatakan bahwa wajib menganjurkan taubat bagi laki-laki dan perempuan yang murtad.

Apabila anjuran bertaubat tidak digubris oleh pelaku Jarimah al-Riddah maka ia boleh diperangi. Namun demikian, karena perang terhadap si pelaku tidak seperti perang terhadap kaum kafir yang secara jelas memusuhi Islam, ia tidak boleh dijadikan budak apabila telah kalah.

Tenggang Waktu yang Tersedia untuk Bertaubat bagi Pelaku Jarimah Al-Riddah

Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa waktu yang tersedia untuk bertaubat adalah tiga hari tiga malam, terhitung sejak pertama kali ia dinyatakan telah melakukan jarimah tersebut, bukan sejak pertama kali ia murtad dan tidak dihitung sejak pertama kali masalahnya diperkarakan secara luas.

Menurut Abu Hanifah, persoalan waktu untuk menunggu keputusan sikap pelaku ini menjadi wewenang penuh penguasa. Kalau penguasa memutuskan untuk segera dieksekusi, maka harus dilakukan. Sebaliknya, kalau penguasa ingin memberikan toleransi waktu maka tersangka akan dieksekusi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Menurut mazhab Syafi’I, ada dua pendapat mengenai pemberian tenggang waktu, yaitu (1) diberi waktu tiga hari dan (2) segera dieksekusi pada saat si pelaku menolak untuk bertaubat. Pendapat yang kedua didasarkan atas hadis tentang Ummu Rauman diatas.

Mazhab Hanbali juga memberikan tenggang waktu selama tiga hari. Namun, selama tiga hari itu si pelaku harus ditahan. Sementara itu, ulama Zahiriyah tidak menentukan batasan waktu. Akan tetapi, kalau pada saat diperintahkan bertaubat tidak mau maka ia dibunuh.[7]

2. Sanksi Pengganti Jarimah Al-Ridhah

Sebelumnya telah dijelaskan apabila pelaku bersedia taubat, ia terbebas dari hukuman mati. Namun, bukan berarti ia terbebas dari hukuman sama sekali. Si pelaku memang terbebas hukuman had, tetapi ia mendapat hukuman ta’zir.

Hukuman ta’zir menjadi wewenang penguasa setempat. Jenis, kadar, dan teknisnya berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Hukuman ini dapat berupa cambukan, penahanan, ganti rugi, atau kecaman. Apabila di suatu daerah kasus murtad sering berulang, penguasa boleh menerapkan hukuman yang sangat berat.

3. Sanksi Pelengkap Jarimah Al-Riddah

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa bagi pelaku jarimah murtad terdapat sanksi pelengkap, yaitu (a) pembekuan asset harta dan (b) pembatasan kewenangan dalam membelanjakan harta kekayaan.

a. Pembekuan Aset Harta

Abdul Qadir Audah, Imam Malik, Al-Syafii dan Ahmad berpendapat bahwa orang murtad yang meninggal, harta kekayaannya tidak dapat diwariskan kepada keluarganya, baik yang muslim maupun non muslim.

Pembekuan aset orang murtad bukan berarti menghilangkan hak kepemilikannya. Ini hanya sebagai sanksi pelengkap, bukan sanksi pokok. Ketika bertaubat, ia tetap berhak atas harta kekayaannya. Akan tetapi, kalau ia terbunuh dalam kondisi masih murtad, asetnya menjadi harta negara (fai’i).

b. Pembatasan Kewenangan dalam membelanjakan Harta Kekayaan

Jarimah murtad pada prinsipnya tidak akan memengaruhi pelaku dalam hal kewenangan atas harta kekayaannya. Oleh sebab itu, orang murtad tetap diperbolehkan untuk memindahkan hak miliknya kepada pihak lain dengan cara hibah, jual-beli, atau sewa. Akan tetapi, orang murtad tidak dibenarkan memindahkan hak miliknya dengan cara waris karena adanya perbedaan agama.

Dengan demikian, jarimah murtad hanya akan berpengaruh pada hak pelaku dalam kewenangannya untuk membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki, baik sebelum maupun sesudah murtad. Oleh karena itu, seseorang yang meninggal dalam kondisi murtad, harta kekayaannya harus dibekukan. Kalau tetap dibelanjakan maka hal itu dinilai batil, karena harta itu hak kaum muslimin yang diberikan melalui baitul mal atau berstatus fai’i. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Riddah secara harfiah artinya kembali. Riddah dalam pembahasannya ini adalah seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan.

Menurut Abdul Qadir Audah, jarimah murtad meliputi dua unsur, yaitu (1) keluar dari agama Islam lalu menuju kekafiran dan (2) melawan hukum.

Sanksi terhadap pelaku jarimah ar-riddah terdiri atas tiga kategori, yaitu (1) sanksi asli (2) sanksi pengganti, dan (3) sanksi pelengkap.
SARAN

Disarankan agar makalah ini dapat di manfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa. Makalah ini juga diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang fiqh jinayah tentang Jarimah Al-Riddah.


DAFTAR PUSTAKA

  • Ali,Zainuddin.2008.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia.Jakarta:Sinar Grafika.
  • Muslich, Wardi Ahmad.2006.Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah.Jakarta:Sinar Grafika.
  • Irfan Nurul,Masyrofah.2013.Fiqh Jinayah.Jakarta:Amzah.


[1] Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia),2008,hlm.123
[2] Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Tausyikh ‘ala Ibn Qasim, (Semarang: Toha Putera),hlm 253. Lihat juga Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah,2013,hlm.76
[3] Ibid, hlm.80
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,2006, hlm.17
[5] Nurul Irfan, Fiqh Jinayah,2013, hlm.88 (lihat : Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (Beirut:Dar Al-Fikr,1994), jilid XVII, hlm.356).
[6] Ibid hlm.89
[7] Ibid, hlm.91

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top