0
Peran, Fungsi dan Kewenangan Pengadilan Agama (PA)

Peran, Fungsi dan Kewenangan Pengadilan Agama (PA) - Pengadilan Agama merupakan kerangka sistem dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya.

Dalam kahidupan dimasyarakat kita permasalahan yang dihadapi sangatlah kompleks diantaranya masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan yang dalam penyelesaian perkaranya dikhususkan pada pengadilan Agama.

Peran Pengadilan Agama dibidang perkawinan maupun dibidang waris yang mempunyai hukum formil maupun materiil yang jelas diantaranya mengenai dalam hal-hal yang diatur dengan acara khusus dipengadilan agama, yang akan dibahas dalam makalah ini.



Rumusan Masalah
a. Apa saja hal-hal yang diatur secara khusus di Pengadilan Agama?
b. Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa dalam hal yang khusus diatur di Pengadilan Agama?

3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui hal-hal yang diatur secara khusus di Pengadilan Agama.
b. Mengetahui prosedur penyelesaian sengketa dalam hal yang khusus diatur di Pengadilan Agama.

B. PEMBAHASAN

1. Cerai Talak


Diatur dalm pasal 66-72 UU No. 7/ 1989, pasal 14-18 PP.No.9/1975, BAB XVI pasal 113-148 KHI, sebagai hukum acara khusus. Adapun Tatacara penyelesaian permohonan cerai talak diatur sebagai berikut:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan dimuka sidang.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39 (1) UUP).

Permohonan cerai talak, meskipun memakai istilah permohonan tetapi harus diproses sebagai perkara contentius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa serta untuk melindungi hak-hak istreri dalam mencari upaya hukum.

b. Surat Pemohonan cerai talak

Seorang suami yang beragama Islam (melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam), yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak (pasal 86 ayat (1) UU -PA).

Permohonan tersebut di atas memuat:a.)Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu isteri.b .)Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (pasal 67 UU – PA)

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (pasal 39 ayat (2) UUP). Alasan-alasan untuk melakukan perceraian telah diatur secara limitatif dalam penjelasan pasal 39 (2) UUP, pasal 19 PP. No. 9/ 1975, pasal 116 KHI..

Petitum dalam surat permohonan cerai talak dapat berbunyi:1.) “Mengabulkan permohonan Pemohon”. 2.)“Menetapkan, mengijinkan kepada Pemohon A untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon B di depan sidang Pengadilan Agama ……”.3.)“Menetapkan akan membuka sidang guna menyaksikan ikrar talak Pemohon dimaksud”. 4.) “Menetapkan biaya menurut hukum”.Sesuai apa yang dikehendaki oleh pasal 14 PP. No. 9/ 1975, pasal 66 ayat (1) UU-PA

2. Cerai Gugat

Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 UU No. 1/ 1974, pasal 20 – 36 PP. No. 9/1975, pasal 73 – 88 UU No. 7/1989, pasal 113 – 148 Kompilasi Hukum Islam adapun tata cara penyelesaian cerai gugat di atur sebagai berikut:

a. Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama : 1) Cerai gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam (penjelasan pasal 20 PP No. 9/1975). 2) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan agama (pasal 40 ayat (1) pasal 63 ayat (1) tahun 1974).

b. Surat gugatan cerai memuat: nama, umur dan tempat kediaman penggugat, yaitu isteri, dan tergugat yaitu suami; alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian; petitum perceraian.

c. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, pasal 116 dan 51 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: a)Suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;b)Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;c)Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;[1]

Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali dalam hal:

a. Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat,

b. Penggugat bertempat kediaman di Luar negeri, maka gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat,

c. Penggugat dan tergugat bertempat kediaman di Luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 UU No. 7/1989).

Gugatan cerai diproses di Kepaniteraan Gugatan dan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan.[2]

d. Pemanggilan Pihak-pihak

Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai gugat dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara cerai talak. Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di Tempat kediaman pihak yang dipanggil (pasal 103 (2) UU-PA).[3]

e. Pemeriksaan

Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan terhadap saksi-saksi (pasal 80 UU No. 7/1989, pasal 33 PP No. 9/ 1975)

Tenggang waktu antara pendaftaran perkara dengan pemeriksaan sama dengan dalam perkara cerai talak.

f. Komulasi perkara

Gugatan soal pengausaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 86 (1) UU-PA).Tata cara pemeriksaan komulasi perkara ini sama dengan dalam perkara cerai talak. Apabila tergugat mengajukan rekonpensi maka diselesaikan menurut tata cara rekonpensi

g. Upaya perdamaian

Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak.

h. Gugat provisionil

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditumbuhkan, Pengadilan dapat mengijinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (pasal 77 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975).

Permohonan tersebut dapat diajukan secara lisan dalam persidangan dan dicatat dalam berita acara Persidangan. Ijin untuk tidak tinggal dalam satu rumah diberikan oleh Hakim dalam persidangan dan dicatat dalam berita acara persidangan.

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.

c. Menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 78 UU-PA, pasal 24 PP No. 9/1975)[4]



3. Acara li’an

Tata cara li’an diatur dalam KHI Pasal 127 sebagai berikut :

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah ke lima dengan kata-kata,. “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.

b. Istri menolak atas tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”. Diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila” tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.

c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut satu kesatuan yang tak terpisahkan.

d. Apabila tatacara pada huruf a tidakdiikuti dengan tatacara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.

Dan pasal 128 bahwa li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.[5]

4. Khuluk

a. Terjadinya khuluk: 1) khuluk ialah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya (pasal 1 huruf i KHI) 2) perceraian dengan jalan khuluk merupakan tata cara khusus yang diatur dalam pasal-pasal 1 huruf i, 8, 124, 131, 148, 155, 161, dan 163 KHI.3) perceraian dengan khuluk karena pelanggaran ta’lik talak diselesaikan menurut tata cara cerai gugat .

b. Tata cara khuluk : 1) gugatan perceraian disampaiakan kepada PA yang mewilayai tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya 2) khuluk harus didasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan yang berlaku 3) PA selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar alasan-alasan dan keterangannya 4) dalam persidangan tersebut PA memberikan penjelasan tetang akibat khuluk dan memberikan nasihatnya.[6]

5. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan pernikahan adalah mekanisme yang dijamin hukum. Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut tegas bahwa ‘perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan’. Permohonan pembatalan dapat diajukan isteri atau suami. Pasal 22 UU No. 1/1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Namun demikian perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal, melainkan harus melalui putusan pengadilan. Pasal 37 PP No. 9/1975 menegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Hal ini mengingat bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami istri maupun terhadap keluarga. Maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi di luar pengadilan.

Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Hal-hal yang berhubungan dengan pengajuan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara yang tersebut dalam pasal 20-35 PP No. 9/1975, yaitu tatacara penyelesaian gugatan perceraian (pasal 38 PP No. 9/1975).

6. Izin Poligami

Permohonan ijin beristeri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5 UU No. 1/1974, pasal 40 – 44 PP No. 9/1975, pasal 55 – 59 Kompilasi Hukum Islam. Adapun tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut:

a. Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang (poligami) harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974).

b. Kewenangan relatif PA: Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974)

c. Surat Permohonan ijin beristeri lebih dari seorang harus memuat: nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu isteri/ isteri-isteri; alasan-alsan untuk beristeri lebih dari seorang; petitum.

Permohonan ijin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada (diperlukan) persetujuan isteri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam perkara Register Induk Perkara Gugatan.

Dalam pemanggilan pihak-pihak Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan isteri ke persidangan. Panggilan dilakukan menurut tata cara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. (selanjutnya lihat Bab IV Bagian G tentang Pemanggilan pihak-pihak).

Pemeriksaan permohonan ijin poligami a) dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/1975).b)Pada dasarnya, pemerisaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,c) pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 yat (1) UU No. 14/1970)

Pembuktian : Pengadilan Agama kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif.

b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan didepan sidang.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak

d. ada atau tidak adnya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari isteri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal isteri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

Persetujuan dari isteri tidak diperlukan lagi dalam hal:

- isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau

- tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau

- karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan agama.

Putusan : Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari dari seorang, Terhadap putusan ini, baik isteri maupun suami dapat mengajukan banding atau Kasasi.

Biaya perkara : dibebankan kepada Pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989).

Pelaksanaan poligami : Pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum ada ijin dari Pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[7]

7. Wali Adhol

Diatur dalam Peraturan Mentri Agama No 2 Tahun 1987 tangal 28 Oktober 1987 tentang wali hakim. Wali Adhol adalah wali nasab yang mempunyai kekusaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada dibawah perwalianya, tetapi ia enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.

Tata cara penyelesaian wali adhol


a. Menetapkan adholnya wali ditetapkan dengan keputusan PA

b. Calon mempelai wanita mengajukan permohonan penetapan adholnya wali dengan surat permohonan.

c. Surat permohonan memuat

Identitas calon mempelai wanita sebagai pemohon.

8. Acara Penyelesaian sengketa harta perkawinan

a.) Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama (pasal 98 KHI) b.) perselisihan mengenai harta bersama dapat berupa: 1) penentuan harta bersama suami istri; 2) pemeliharaan dan pemanfaatan harta bersama suami istri; 3) penentuan bagian masing-masing suami istri; dan 4) pembagian harta bersama suami istri. C.) sengketa harta perkawinan dapat timbul karena: 1) putusnya perkawinan, baik karena kematian maupun karena perceraian, atau 2) tanpa putusnya perkawinan. D.)penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat diajukan: 1) bersama-sama dengan perkara perceraian, 2) setslah terjadinya perceraian, atau 3) setelah terjadinya kematian salah satu pihak dari suami istri atau kedua suami istri. E.) dalam hal salah satu dari suami atau istri mengjukan perkara perceraian, maka dapat diajukan sekaligus mengenai penyelesaian harta bersama suami istri, baik dalam kompensi dari penggugat/pemohon ataupundalam bentuk rekonpensi dari tergugat/ termohon ( pasal 66 (5) dan pasal 86 (86 (1) UU Np. 7/1989). F.) hakim berwenang untuk mempertimbangkan apkah penggabungan penyelesaian sengketa harta bersama tersebut dapat diterima dan diselesaikan sekaligus bersama-sama dengan perceraian atau tidak diterima sehingga harus diselesaikan setelah perceraian terjadi sebagai perkara tersendiri. G.) dalam hal tuntutan mengenai harta bersama digabungkan denagn perceraian, maka ia tunduk pada putusan sengketa perceraian, sehingga jika perkara perceraian ditolak (tidak diterima), maka perkara harta bersama harus tidak diterima dan jika perkara perceraian dikabulkan maka pembagian harta bersama dapat sekaligus diselesaikan. H.)penggabungan perkara penyelesaian harta bersama dengan perceraian ini merupakan ketentuan khusus yang berlaku pada pengdilan dalam lingkungan peradilan agama. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. I.) tuntutan pembagian harta bersama dapat pula diajukan setelah perceraian terjadi, sebagai akibat perceraian. J.)demikian pula pembagian harta bersama dapat pula diajukanse telah perkawinan putus karena kematian dan dapat pula dibarengi dengan pembagian harta waris. K.) dalam hal terjadi sengketa kepemilihan maka: 1) sepanjang hal itu mengenai penentuan apakah harta sengketa merupakan harta bersama atau harta pribadi suami/istri, maka hal ini harus diselesaikan oleh pengadilan agama.[8]



C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Didalam Pengadilan Agama ada hal-hal khusus yang di atur dalam hukum acara khusus yaitu masalah-masalah mengenai sengketa perkawinan diantaranya cerai talak, cerai gugat, acara li’an, khuluk, pembatalan perkawinan, izin poligami, wali adhol, dan penyelesaian sengketa harta perkawinan.

2. Saran

Mengetahui hukum acara Pengadilan Agama meruppakan hal yang penting dikuasai oleh mahasiswa syari’ah, makalah ini masih penuh dengan kekurangan dan kesempurnaan untuk itu kami minta ma’af serta kritik dan saran sangat kami harapkan.

  1. Untuk lebih lengkap dan jelasnya buka Kompilasi Hukum Islam (SUHARTO) H.42
  2. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogjakarta: Pustaka Pelajar,2011. H.224
  3. Ibid 225
  4.  Ibid 226
  5. Tri Wahyudi, Abdullah, Peradilan Agama diIndonesia, Pustaka Pelajar. H.341
  6. Untuk lebih jelasnya buka mukti arto h. 234-235
  7. Ibid H.241-243
  8. Baca Arto, Mukti H.245-250

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top